Kamis, 15 April 2010

Melindungi Anak

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan yang di dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan tunas bangsa yang memiliki segudang potensi dan akan merupakan generasi muda sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa. Ia mempunyai peran strategis dan ciri serta sifat khusus yang nantinya akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Melindungi anak berarti menjaga bangsa ini tetap eksis. Karenanya persoalan anak menjadi suatu keniscayaan untuk mendapat perhatian kita semua, terutama negara.

Anak bukanlah manusia dalam bentuk kecil, tetapi ia dipandang sebagai manusia yang membutuhkan perlindungan dan penanganan khusus (special safeguard and care), termasuk perlindungan hukum (legal protection), baik setelah maupun sebelum dilahirkan”. Lalu siapakah anak itu? Menurut UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, yang tergolong anak adalah manusia pada kelompok umur di bawah 18 tahun.

Melindungi anak berarti memahami persoalan anak. Memahami persoalan anak berarti memahami derita anak. Anak-anak Indonesia yang kini tengah menghadapi bahaya penderitaan dapat digolongkan dalam dua “wajah”. Pertama, yakni anak-anak yang menjadi korban (victim), terutama yang disebabkan oleh faktor-faktor kondisi ekonomi, sosial, politik dan kultural. Korban itu sendiri bisa berarti korban kejahatan (victim of crime) juga bisa berarti korban penyalahgunaan kekuasaan (victim of abuse of fower).

Kedua, anak-anak “bermasalah” (anak dilinkuen/delinquency child) yang mengalami bahaya pederitaan karena terlibat dalam proses-proses dan perilaku-perilaku yang asosial maupun proses-proses reaksi sosial terhadap perilakunya yang bermasalah itu sendiri, termasuk peradilan pidana yang dihadapinya. Kendati anak-anak bermasalah hakikatnya juga sebagai korban karena ia sebenarnya belum sempurna perkembangan fisik, psikis, dan sosialnya, namun dalam hal ini dipisahkan untuk memperoleh kajian secara lebih mendalam. Bagi anak-anak itu, hari-hari ini adalah hari-hari buruk, suatu masa penderitaan yang rasanya tak berujung, dan tak berlebihan jika ia dikatakan mengalami proses pengorbanan ganda (double victimization). Kasus-kasus masih maraknya eksplotasi anak-anak jalanan (exploitation of street children) seperti pengemisan maupun sebagai subyek physical abuse dan sexually abused, pekerja anak (child labour), penjualan anak (sale of children), prostitusi anak (child prostitution), keterlibatan dalam lalu lintas obat-obatan terlarang (drug trafficking), dan berbagai bentuk kekerasan yang menciptakan penderitaan anak-anak (violence against children) adalah bukti konkret anak-anak menjadi korban.

Meskipun anak-anak dalam kasus-kasus itu tampak menjadi pelaku, tetapi hakikatnya adalah korban, baik korban akibat “disabilitas” (ketidakmampuan) diri, ketidakberdayaan keluarga secara ekonomi, atau karena pandangan kultural yang mensubordinasi anak-anak pada kepentingan di luar kepentingan utama dan pertama bagi anak-anak maupun pengaruh perilaku-perilaku jahat yang muncul dari lingkungan hidupnya yang tidak bisa dihindari dan ditampiknya secara bebas, yang acapkali disebut sebagai child abuse. Semua itu terakumulasi dalam “wajah anak-anak yang menjadi korban”, yang menampilkan kesulitan dan penderitaan untuk sekedar mencapai kelangsungan hidupnya.

Krisis ekonomi serta terjadinya tragedi-tragedi kemanusiaan yang melanda di sejumlah daerah belakangan ini, tentu saja justru makin menggelembungkan angka pengorbanan (viktimisasi) anak-anak di negeri ini. Jangankan krisis ekonomi, ketidakadilan ekonomi (economic injustice) yang telah terjadi di negeri ini pada masa lalu selama lebih tiga dasawarsa telah menciptakan kemiskinan yang memustahilkan pemenuhan kebutuhan yang merupakan hak-hak dasar anak-anak yang hidup dalam lingkaran kemiskinan itu.

Berdasarkan data, setidaknya masih terdapat lebih dari 10 juta anak di Indonesia yang tidak memperoleh pendidikan yang memadai, formal maupun non formal. Sehingga besarnya angka anak-nak jalanan dan pekerja anak-anak yang mengais rejeki karena kemiskinannya dan ketidakcukupan alokasi budjet negara memenuhi kebutuhan hak-hak dasar mereka menjadi pemakluman yang sebenarnya tidak dapat dipermaklumkan. Realitas tersebut sekaligus menunjukan kegagalan pemerintah mengambil langkah-langkah yang efektif untuk mencegah dan melindungi anak-anak dari child abuse, ekplotasi dan diskriminasi. Karena itu, agenda politik mengenai perlindungan anak-anak dari praktik-praktik pengorbanan (victimisasi) di samping perlindungan hak-hak anak-anak pada umumnya menjadi urgen dan krusial.

Sementara itu, menyoal anak-anak Indonesia yang tergolong “bermasalah” (delinquent) masih sangat problematis. Persoalan riil yang dihadapi terutama menyangkut aktualisasi dan implementasi prinsip umum bahwa “state shall ensure each child enjoy full rights without discrimination or distinctions of any kind” (negara menjamin setiap anak menikmati hak-haknya secara penuh tanpa diskriminsasi dan perbedaan dalam berbagai bentuk) di samping prinsip bahwa “the child’s best interest shall be a primary consideration in all actions concerning childern” (kepentingan terbaik anak-anak harus dijadikan perimbangan utama dalam segala aksi yang berhubungan dengan anak-anak).

Implementasi dari prinsip-prinsip ini masih menjadi slogan belaka, sehingga proses-proses resolusi permasalahan anak-anak acapkali justru melahirkan anak-anak yang makin bermasalah. Contoh sederhana mengenai kasus ini bisa dibuktikan dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan anak (Lapas anak). Kesan jorok, kumuh dan lingkungan pembinaan yang kurang mencerminkan “child enjoy full right” masih sangat menonjol. Meskipun anak-anak itu “bermasalah”, namun prinsip-prinsip anti diskriminasi dan anti distingsi, mulai dari proses-proses peradilan sampai pemberian “tindakan” atau “treatment” (penanganan) tidak boleh bertentangan atau mengeliminasi hak-hak anak-anak. Karena anak-anak adalah “a different kind of human beings”, maka praktik-praktik penanganan anak-anak bermasalah yang mencerminkan sifat-sifat yang menderitakan, penyiksaan (torture), kekejaman (cruel), termasuk yang menghinakan (degrading or inhuman) adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi anak-anak.

Bahkan sebaliknya, kepentingan terbaik (best interst) anak-anak “bermasalah” itulah yang harus dikedepankan. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan yang sifatnya “distance” (mengambil jarak) terhadap anak-anak bermasalah saatnya ditinggalkan dan menuju pendekatan yang “closeness” yang melihat “kebermasalahan” anak-anak sebagai bentuk penderitaan yang membutuhkan aksi-aksi (bukan reaksi) yang menciptkan hubungan pemberian perhatian secara lebih. Sehingga, bentuk penanganan dan perlindungan kepada anak-anak adalah “special treatment” dan “special protection”, yang memberi ruang-ruang untuk menyalurkan kebebasan untuk berekspresi (freedom of expression), kebebasan untuk berpikir (freedom of thought), mengungkapkan kata hatinya (conscience), maupun keberagamannya.

Dunia internasional saat ini meneguhkan suatu era baru pembangunan hak-hak (children’s rights). Hal ini menandai adanya paradigma baru dalam memandang anak-anak dan hak-haknya. Indonesia sebenarnya telah memiliki starting point yang baik dengan meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak dan berbagai perundang-undangan yang berorientasi pada penghargaan terhadap hak-hak anak-anak. Karena itu, persoalan yang masih di depan mata adalah justru implementasi pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak-anak serta menegakkan dalam setiap terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak itu, baik yang terjadi dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun kehidupan bernegara sekalipun.

Dalam konteks Konvensi Hak-hak Anak, adalah kuno jika menganggap bahwa orang tua “memiliki” anak-anak mereka secara absolut. Konsep kuno tersebut diganti dengan konsep baru, yakni “orang tua bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak anak-anak mereka”. Ingat pesan Kahlil Gibran, sang penyair kondang dari Libanon yang mengatakan bahwa ”anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah milik Sang Hidup, berikanlah rumah untuk raga mereka, tapi bukan untuk jiwa mereka”.

Artikel 5 Konvensi Hak Anak menegaskan bahwa “orang tua tidak memiliki hak pada anak-anak mereka, kecuali hak-hak yang secara langsung berhubungan dengan kebutuhan orang tua untuk melindungi hak-hak anak-anak mereka”. Pertanggungjawaban orang tua atas hak-hak anak berkurang ketika anak-anak menginjak dewasa (children mature), yakni saat anak-anak mulai mengerti nilai-nilai, budaya dan norma-norma masyarakat dan mereka mulai berinteraksi atas dasar toleransi, saling menghormati dan solidaritas dalam keluarga dan masyarakat.

Konvensi Hak-hak Anak memperkenalkan “keseimbangan” antara hak dan pertanggungjawabannya. Anak-anak memiliki hak untuk: melangsungkan hidupnya (the rights to survival); Perlindungan dari pengaruh, perlakuan dan eksploitasi secara kejam (the rights to protection from harmful influences, abuse and exploitation); Partisipasi secara penuh dalam lingkungan kehidupan keluarga, budaya dan sosial (the rights to participate fully in family, cultural, and social life).

Ketika menulis ikhwal anak ini, saya teringat anak kami, yang saat ini berusia tujuh bulan. Serolf, anak kami, adalah generasi TIK, yang ketika lahir, di sekitarnya bersileweran sinyal wi-fi. Ia adalah anak kandung teknologi informasi, sebab ketika ia lahir, berita kelahirannya segera dikabarkan kepada sahabat dan handai taulan lewat media elektronik bernama handphone. Melindungi anak, saat ini, adalah persoalan berat. Sebagai generasi melek internet, anak sekarang cenderung mengalami percepatan kematangan, yang tentunya membutuhkan bimbingan, perhatian, dan teladan orang tua.

Perlindungan anak adalah tanggung jawab orang tua, juga tanggung jawab negara. Indonesia telah memiliki berbagai perangkat hukum peraturan perundang-undangan yang secara khusus memberikan perlindungan dan penghormatan kepada hak-hak anak. Produk-produk peraturan perundang-undangan dimaksud adalah:

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak;

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;

3. Undang –Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

4. Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.

Meski sudah diatur dalam beragam varian produk peraturan perundang-undangan, masih banyak kasus pelanggaran dan kejahatan hak asasi anak terjadi. Peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap anak-anak perlu diikuti dengan tindakan penegakan hukum. Untuk itu, dibutuhkan para penegak hukum, mulai dari hakim, jaksa, dan pengacara yang memahami dan memberikan perhatian yang serius kepada masalah dan kepentingan anak, yang memiliki kepekaan atas kebutuhan anak-anak (sense of child needs).
Selain itu perlu penguatan peran lembaga Komisi Perlindungan Anak Indomnesia (KPAI) yang telah ada saat ini, sehingga benar-benar memberikan perlindungan yang komprehensif terhadap anak-anak Indonesia. Diharapkan KPAI tidak menjadi lembaga di atas kertas semata. Karena itu, pimpinan KPAI diharapkan memiliki sense of child needs.

oleh: Ferdinandus Setu
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=8205

Tidak ada komentar:

Posting Komentar