Aldo, siswa kelas III Sekolah Dasar Muhammadiyah Rawamangun, Jakarta Timur, tampak tak bisa duduk tenang. Energi anak itu seperti tiada habisnya. Ia sangat bawel, sulit berkonsentrasi, agresif, suka mendominasi pergaulan, berlarian ke sana-kemari dan sering mengganggu teman-temannya. Tak heran bila di sekolah, semua teman Aldo tidak menyukainya. Mereka beranggapan Aldo musuh besar atau troublemaker yang selalu membuat kesal atau menyulut kemarahan banyak orang, termasuk guru di sekolah. "Aldo merupakan salah satu contoh anak dengan kondisi attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), biasa juga disebut gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Di Indonesia, ADHD merupakan gangguan tingkah laku yang paling sering dijumpai pada anak-anak dengan tingkat prevalensi 13-19 persen," tutur Hardiono D. Pusponegoro, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia, menerangkan kondisi Aldo.
Pekan lalu di sebuah seminar, Kepala Subbagian Saraf Anak, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, itu menjelaskan soal perilaku ADHD. Ia mengatakan, secara umum gejala ADHD akan mudah dikenali setelah si anak bersekolah. Dari sebuah penelitian kedokteran dunia terbukti kasus ini pada anak laki-laki tiga kali lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Diperkirakan lebih dari 50-60 persen penderita ADHD sejak kecil atau masa kanak-kanak akan tetap memiliki gejala-gejalanya sampai ia berusia dewasa.
Lalu, apa sebenarnya penyebab ADHD? Sambil senyum Hardiono yang menyelesaikan program S-2-nya pada Ilmu Kesehatan Saraf Anak The Children's Hospital Camperdown, Australia, ini mengatakan, penyebab pasti ADHD belum diketahui, meskipun ada bukti-bukti secara biologis yang mempengaruhi dopamine dan norepinerefrin. Di otak, dopamine merupakan zat yang bertanggung jawab terhadap tingkah laku dan hubungan sosial, serta mengontrol aktivitas fisik. Sementara itu, norepinerefrin berperan dalam kemampuan berkonsentrasi, memusatkan perhatian dan perasaan.
Karenanya, ADHD sangat bisa diturunkan, meski penelitian mengenai keterlibatan gen-gen tertentu baru berjalan pada tahap awal. Anak-anak yang memiliki orangtua dengan ADHD cenderung lebih tinggi menderita ADHD. Karakter keluarga dan faktor-faktor lingkungannya memiliki peranan penting untuk menimbulkan gejala-gejala ADHD.
Biasanya gejala ADHD sudah dapat diketahui saat anak berusia di bawah 7 tahun. Gejalanya akan muncul minimal selama enam bulan berturut-turut dan biasa dijumpai di dua lingkungan berbeda rumah dan sekolah. Secara umum ada tiga gejala utama, yaitu gangguan pemusatan perhatian (inattention), hiperaktivitas, dan impulsitivitas atau mudah terangsang. Hadiono menyebutkan, gejala anak ADHD tampak kurang memusatkan perhatian, sering melakukan kesalahan-kesalahan akibat kecerobohannya, kesulitan menerima pelajaran, sering gagal menyelesaikan tugas, perhatiannya mudah teralihkan, sukar duduk diam, selalu tergesa-gesa, sering menggerak-gerakkan kaki dan tangan, sering meninggalkan tempat duduknya, berlari kian kemari, sulit bermain dengan tenang, bicara berlebihan, tak mau menunggu giliran, selalu menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan diajukan, senang mengganggu teman, guru, adik, kakak, dan orangtua, serta ingin selalu melakukan interupsi pembicaraan orang lain.
Dokter Ika Widyawati, pengajar senior di Subbagian Psikiatri Anak dan Remaja RSCM dan Fakultas Kedokteran UI, sependapat dengan penjelasan Harsudiono. Wanita yang menyelesaikan pascasarjananya di bidang psikiatri anak dan remaja di Universitas McGill, Montreal, Kanada, ini menambahkan gejala di atas tadi menjadi hambatan utama anak ADHD dalam mengontrol hiperaktivitas, impulsivitas, dan kurang dapat memusatkan perhatian. "Karena anak ADHD mengalami gangguan pemusatan perhatian, mereka memiliki prestasi buruk di sekolahnya. Belum lagi kesulitan dalam perkembangannya. Bagi anak di masa awal sekolah sangat sulit untuk bicara atau mengungkapkan ide dan emosinya. Mereka jadi susah belajar dan mengalami keterlambatan dalam penguasaan bahasa," kata wanita yang menaruh minat utama soal ADHD, autisme, dan kesehatan mental anak.
Berdasarkan pengalaman Ika menangani konsultasi penderita ADHD, mereka menjadi risau bila tidak ditangani sejak dini akan menyulitkan untuk melakukan pengobatan. Dari pengalamannya ada juga penderita ADHD remaja, dewasa, dan orangtua yang berdampak dengan perilaku, terutama emosional, pekerjaan, lingkungan sosial, kecelakaan, kriminalitas, penyalahgunaan obat terlarang, dan gejolak menyulut di dalam rumah tangganya. "Dari hasil penelitian, penderita ADHD mengalami tingkat stres yang tinggi sebab ia merasa seolah-olah dikucilkan teman dan lingkungan sosialnya. Tak bisa dihindari ia akan gampang depresi, rendah diri, dan melarikan diri pada ketergantungan alkohol, obat-obatan, dan masalah perceraian. Kondisinya sungguh menyeramkan. Maka, saya selalu sarankan bila ada orang yang memiliki anak dengan gejala di atas sebaiknya segeralah diperiksa ke dokter. Seandainya ia positif menderita ADHD, akan lebih mudah diobati," ujar wanita berkacamata ini.
Ika menyarankan untuk membantu penderitanya bisa dengan mengontrol gejala-gejala tadi, lalu memusatkan perhatian dengan cara melakukan terapi obat, terapi perilaku, edukasi, dan sosial yang disesuaikan dengan keadaan si penderita. Untuk menangani penderita ini harus mendapat dukungan dari orangtua, keluarga guru, serta lingkungannya. "Berdasarkan penelitian dari National Institute of Mental Health (NUMH) Amerika Serikat, terapi obat dan terapi perilaku memberikan hasil yang lebih baik bagi penderita ADHD."
Menurut dia, khusus terapi obat yang paling sering diresepkan bagi penderita ini obat golongan stimulan methylphenidate. Berdasarkan American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (AACP) stimulan merupakan medikamentosa terbaik untuk ADHD. Penelitiannya menunjukkan 70 persen anak penderita ADHD memberi respons yang baik terhadap methylphenidate, terbukti sudah digunakan selama berpuluh-puluh tahun menunjukkan pengurangan pada gejala gangguan pemusatan perhatian, hiperaktivitas, dan impulsitivitas.
Menurut Dokter Yanwar Hadiyanto dari bagian penelitian obat baru Janssen Cilag Indonesia, divisi Johnson Johnson, selama ini methylphenidate immediate release yang sering dipakai para anak penderita ADHD hanya bekerja selama empat jam dan digunakan sehari dua sampai tiga kali. Lalu, methylphenidate slow release yang memiliki masa efektivitasnya atau jam kerjanya berdurasi pendek, tidak mencapai 12 jam. Padahal, berdasarkan riset yang dilakukan di tempatnya aktivitas anak ADHD berlangsung sepanjang hari dan memiliki kegiatan yang cukup padat mulai bangun tidur hingga kegiatan di sekolah.
Menurut Yanwar, berdasarkan kondisi ini, maka Jansen Cilag melakukan pengembangan dan menemukan obat ADHD yang ideal. Obat baru dengan teknologi OROS hanya diminum dengan dosis satu kali sehari, tetapi bekerja secara efektif selama 12 jam, sehingga lebih memusatkan perhatian, mengontrol gejala hiperaktivitas dan impulsitivitas. Obat yang diberi nama CONCERTA ini harus diberikan dengan resep dokter dan sudah disetujui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BP POM), Departemen Kesehatan. "Kelebihannya menghilangkan kondisi pemberian obat dengan dosis dua atau tiga kali sehari, jadi lebih menyederhanakan. Anak tidak perlu minum obat lagi di sekolah. Minum CONCERTA pagi sekali langsung efektivitas kerjanya berlangsung hingga 12 jam memungkinkan si anak akan terkontrol lebih lama," paparnya panjang.
Meski menyambut baik penemuan ini, dokter Ika dan Hardiono sepakat terapi pengobatan harus seiring berjalan dengan terapi perilaku. "Semua itu tidak selesai dalam waktu instan. Di negara mana pun terapi anak ADHD memerlukan waktu cukup panjang yang harus dikerjakan dengan teliti serta sabar. Paling cepat bisa dicapai dalam jangka waktu dua sampai lima tahun," kata dokter Ika yang dibenarkan dengan anggukan kepala Hardiono. Memang faktanya untuk memusatkan perhatian, mengontrol gejala hiperaktivitas dan impulsitivitas tidak bisa dalam waktu sekejap. hadriani p
Sumber berita - www.korantempo.com/news/2004/9/6/Gaya%20Hidup/36.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar