Geliat sekolah inklusif tak hanya ramai di kota-kota besar. Dari data Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, hampir semua propinsi di Indonesia telah mempunyai sekolah inklusif. Beberapa propinsi yang masih belum mempunyai sekolah inklusif salah satunya propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Secara keseluruhan pendirian sekolah inklusif memang masih didominasi propinsi-propinsi yang berada di Pulau Jawa.
Pendidikan untuk anak yang berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam kebijakan tersebut memberi warna baru bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Ditegaskan dalam pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Di ibukota Jakarta, misalnya. Dari keterangan Kepala Seksi Pendidikan Luar Biasa (Kasi PLB) Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta, sekolah inklusif telah diterapkan sejak tiga tahun lalu melalui payung hukum peraturan gubernur (pergub). Berdasarkan pergub inilah beberapa sekolah ditunjuk untuk membuka program inklusif
Namun sayangnya semangat dan wacana penyediaan fasilitas pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus sangat berbeda dengan pelaksanaannya. Dalam RAPBD 2010. Fenomena angka siswa yang mengalami hambatan belajar/kesulitan belajar karena Dislexia, ADHD (Atention Defisit Hiperaktif Disorder), ADD (Atention Difisit Disorder), dan Autis, yang angka pravelensi 10% dari total jumlah siswa, tidak diperhatikan oleh Dinas Pendidikan. Walaupun sudah ada Peraturan Gubernur No.116 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pendidikan Inklusi dalam Bab III pasal 4 bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusi di setiap Kecamatan sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) TK/RA, SD/MI, dan satu SMP/MTS dan disetiap Kota sekurang-kurangnya 3(tiga) SMU/SMK/MA/MAK. Prakteknya, di Jakarta Selatan yang memiliki 10 Kecamatan, hanya ada 3(tiga) SD Inklusi Negeri, seharusnya terdapat sekurang-kurangnya 30 SD/MI. Biaya yang dianggarkan untuk pendidikan inklusi di Dinas Pendidikan sebesar Rp.200.000.000,- untuk dana pendamping untuk 5(lima) SD model inklusi. Dan untuk tingkat Sudin Jakarta Pusat dianggarkan 50 juta untuk pembinaan guru inklusi sebanyak 60 orang, dan bimbingan teknis penyusunan KTSP, MBS, SLB Pendidikan Inklusi sebesar 50 juta. Dana pendidikan inklusi untuk seluruh wilayah DKI Jakarta kurang dari 2(dua) Milyar Rupiah. Terjawab sudah, mengapa implementasi Pergub no. 116 tahun 2007 tentang pendidikan Inklusi gagal. Kegagalan ini, menyebabkan 50.000-an anak berkebutuhan khusus yang seharusnya ditampung di Sekolah Inklusi, menjadi keleleran tak terurus. Bandingkan dengan pengadaan seragam guru (PDH dan ongkos jahit sebesar 12,119 Milyar rupiah.
Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah DKI Jakarta di sektor pendidikan inklusi. Semangat pendidikan untuk semua dan siapa saja seharusnya juga di terapkan dalam realita di lapangan.
by: wandahamidah
http://wandahamidah.blogdetik.com/2009/11/18/nasib-sekolah-inklusi-di-jakarta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar