Rabu, 05 Mei 2010

Memberikan Perhatian Lebih Pada SLB

Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk sekolah inklusi dan SLB tidak bisa disamakan dengan sekolah reguler. Harus ada BOS khusus sekolah inklusi dan SLB, karena kebutuhan anak berkebutuhan khusus lebih besar dibanding siswa normal.

MULAI tahun depan Mendiknas berenacan untuk memberikan perhatian lebih pada sekolah-sekolah berkebutuhan khusus seperti sekolah inklusi dan SLB.

Yang perlu diperhatikan, peningkatan biaya pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK). Biaya untuk pendidikan ABK lebih mahal dibanding pendidikan reguler. Jika hal itu dibebankan kepada orang tua siswa, maka akan memberatkan mereka. Maka, yang perlu dikaji adalah kebijakan program bantuan oprasional sekolah (BOS). BOS untuk sekolah inklusi dan SLB tidak bisa disamakan dengan sekolah reguler. "Harus ada BOS khusus sekolah inkJusi dan SLB," kata Mendiknas Mohammad Nuh.

Bantuan itu tidak bisa disamakan karena kebutuhan ABK lebih besar dibanding siswa normal. Dengan cara seperti itu, maka biaya pendidikan ABK tidak dibebankan sepenuhnya kepada orang tua siswa. "Namanya pendidikan khusus, ya perhatiannya juga harus khusus," katanya.

Selain BOS khusus, guru yang menangani juga harus guru yang khusus, yakni guru yang mempunyai kemampuan dalam mendidik ABK. Guru siswa ABK butuh kesabaran. Kalau tidak sabar bisa stress.

Diakui, untuk mendapatkan guru spesial bagi ABK, dibutuhkan pelatihan khusus. Selain itu, rekrutmennya juga tidak sama dengan guru lainnya. Ada persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu sabar, kasih sayang, dan mempunyai kemapuan khusus lainnya.

Soal fasilitas, sekolah-sekolah inklusi dan berkebutuhan khusus lainnya seperti SLB, umumnya juga belum dilengkapi fasilitas peraga yang memadai untuk siswa berkebutuhan khusus. Guru-guru yang mengajar siswa berkebutuhan khusus juga belum dipersiapkan, kecuali beberapa guru dari sekolah luar biasa yang diperbantukan.

Saat Mendiknas meninjau SD Negeri KJampis Ngasem, Surabaya. Dari 639 siswa SDN Klampis Ngasem, sebanyak 165 siswa di antaranya berkebutuhan khusus. Siswa berkebutuhan khusus terbanyak adalah yang berkategori lambat berpikir (slow learner), autis, tunarungu, dan hiperaktif. Selain itu, terdapat seorang siswa tunanetra dan empat siswa tunadaksa.

Di SDN KJampis Ngasem, dari 40 guru, hanya delapan yang berstatus pegawai negen sipil. Sebagian besar guru pendamping siswa difabcl berstatus honorer yang honornya dibebankan kepada orangtua siswa.

Koordinator Inklusi SDN KJampis Ngasem Dadang Bagus menambahkan, kendati sekolah ini menerima siswa dari semuajenis cacat, fasilitasnya tidak ada. Alat untuk terapi, alat bantu dengar, peraga, dan bahari ajar berhuruf braille belum ada, demikian pula kurikulum dan metode ajar. Karena itu, semua diadaptasi dari kurikulum yang ada.

Itu sebannya, selain perhatian khusus kepada ABK, Mendiknas Mohammad Nuh berjanji guru-gurunya juga perlu mendapatkan penghargaan dengan mengangkat mereka menjadi PNS.

Guru yang mcrgijar di sekolah berkebutuhan khusus diusulkan mendapatkan perhatian khusus Pemerintah mengusahakan kenaikan pangkat dari honorer menjadi guru tetap. Usulan itu melihat masih banyaknya guru honorer yang mengajar di sekolah inklusi.

Kenaikan pangkat menjadi PNS itu selain melihat faktor beban biaya juga melihat faktor kebiasaan guru itu mengajar, siswa berkebutuhan khusus. Sehingga tidak semua guru bisa mengajar siswa berkebutuhan khusus.

Pemerintah pusat akan bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk membagi beban pendidikan. Rincian mengenai kerjasama itu masih akan dibicarakan. (RMB)

SUMBER: http://bataviase.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar